KURCACI

Pernahkan kamu mendengar tentang kurcaci. Pasti kamu pernah mendengar kisah tentang tujuh kurcaci di sebuah negeri dongeng bukan. Kini aku akan bercerita tentang kurcaci. Aku tidak akan bercerita tujuh kurcaci melainkan aku akan bercerita tentang tujuh puluh kurcaci. Ya, tujuh puluh kurcaci akan menjadi sebuah cerita yang melegenda karena tujuh puluh kurcaci lebih banyak daripada hanya tujuh kurcaci. Dan tidak akan ada satu orang pun yang akan mengabaikan tujuh puluh kurcaci tersebut.

Kadang kala bila kita berpikir tentang kurcaci apa yang ada dalam pikiranmu. Kadangkala bila kurcaci lewat di depan rumahmu atau kurcaci ada di dalam kolong tempat tidurmu maka apa pula yang ada dalam pikiranmu dan apa pula yang akan kamu berbuat.

Pertanyaan itu wajib kamu jawab sebab aku bertanya. Jika pun tidak maka tidak apa-apa. Jadi begini, dahulu kala ada tujuh puluh kurcaci yang hidup saling berdampingan satu sama lain. Mereka hidup penuh dengan kerukunan dan kedamaian. Mereka hidup penuh gotong royong. Tatkala musuh datang mereka semua berkumpul untuk mengusir musuh dan tatkala musuh telah terusir maka mereka semua kembali melakukan aktifitas seperti biasanya. Begitulah jika ada musuh yang datang bahkan walaupun musuh yang datang tersebut hanya satu.

Pada suatu pagi para kurcaci telah terbangun seluruhnya. Pada pagi itu tidak ada kurcaci yang tertidur bahkan seandainya para kurcaci tidur pun mereka tak akan bisa tidur sebab cahaya matahari pagi membuat mereka senantiasa terjaga.

Mereka hidup di tengah-tengah hutan. Di dalam hutan tersebut ada sebuah danau yang tidak terlalu besar akan tetapi airnya begitu jernih dan dapat diminum oleh siapapun dan tidak mengakibatkan sakit perut. Semua jenis mahkluk hidup dapat meminum airnya dan setelahnya mereka pun menjadi begitu puas. Di tengah-tengah danau tersebut ada sebuah pulau yang dipenuhi dengan pohon-pohon lebat. Di pulau kecil itu hiduplah tujuh puluh kurcaci. Kadangkala para kurcaci pergi ke pesisir danau untuk mengambil air yang jernih atau sekedar memancing ikan.

Para kurcaci tidak memiliki perahu sehingga mereka semua tak dapat kemanapun dan mereka pun lebih memilih tinggal dengan tenang dan damai di atas pulau kecil tersebut.

Di atas pulau kecil itu berdiri rumah-rumah sederhana yang terbuat dari daun-daun kering dan dindingnya berupa dahan-dahan kayu yang telah kering. Para kurcaci ini hidup sedemikian sederhana dan mereka tetap bahagia walau bagaimana pun juga. Tidak ada orang yang sanggup mengalahkan kebahagiaan para kurcaci ini. Mereka tampak bahagia sekali. Dari pagi sampai siang dan dari siang sampai sore dan dari sore sampai malam mereka selalu menunjukan tanda-tanda keceriaan. Tidak ada duka sekecil apapun yang menyelimuti mereka.

Sampai pada suatu hari salah seorang dari kurcaci yang telah tua dan rambutnya telah beruban pun tiba-tiba jatuh sakit. Saban malam dan siang kurcaci tua ini pun hanya bisa berbaring di atas tempat tidurnya dan merasakan sakit ditubuhnya yang tiada terkira. Para anak dan keturunannya pun diam-diam ke belakang rumah dan terisak-isak sebab ia tak mampu lagi membendung air matanya yang ingin jatuh dari keindahan bola matanya.

Para kurcaci tua ini pun rupanya telah sadar bahwa ia akan segera meninggal. Ia akan meninggalkan anak keturunannya di tempat ini dan ia sendiri pun tidak tahu akan sampai dimana bila ia telah meninggal dunia.

Di dalam malam yang hening. Didalam kesendiriannya yang penuh dengan perasaan sakit di sekujur tubuhnya ia pun tiba-tiba tak sengaja mengalirkan air matanya. Ia pun menangis seorang diri dan rupanya duka juga menyelimuti hati si kurcaci tua ini. Air matanya mengalir begitu saja seakan tak dapat ia bendung. Air matanya mengalir dengan deras seperti air sungai yang mengalir menuju lautan.

Ia pun menangis hingga akhirnya ia pun tak sadar bahwa pagi telah menjelang. Ia pun tak sadar bahwa anak keturunannya pun ada di sampingnya. Sisanya ada di luar rumahnya yang sederhana. Sebanyak enam puluh sembilan kurcaci pun berduka melihat si kurcaci tua ini menderita sakit yang tiada tertahankan.

Tak ada satu kurcaci pun yang merasakan sakit sampai ia menginjak usia tua. Dan tak seorang kurcaci pun dapat merasakan apa yang kini dirasakan oleh kurcaci tua ini. Diam-diam satu demi satu para kurcaci ini berusaha untuk menahan air matanya tapi mereka tidak akan mampu menahannya. Jadi satu persatu mereka pun segera membubarkan diri. Sebagian dari mereka berlari pergi ke pesisir danau untuk menghapus air matanya dengan air danau yang jernih. Sebagian dari yang lain pergi ke rumahnya masing-masing dan bersembunyi di baling dinding untuk meredam isak tangisnya. Sementara yang lain hanya duduk terdiam di atas sebongkah pohon yang telah rubuh dan dimakan waktu. Ia duduk di atas pohon yang telah mati dan kini hatinya berduka. Hatinya dipenuhi dengan perasaan duka.

Kini pada hari itu tak ada satu kurcaci pun dapat merasakan senyum yang ada di bibir dan tak ada satu kurcaci pun dapat mendatangkan tawa yang ada di wajahnya. Setiap kurcaci pada hari ini telah merasakan duka yang mendalam sebab si kurcaci tua sedang terbaring sakit. Dan barangkali mereka semua sadar bahwa tak akan datang tua kecuali ia akan meninggal dunia setelahnya.

Di salah satu tanah di pulau yang dihuni oleh kurcaci tersebut ada beberapa makam yang digunakan oleh para kurcaci untuk mengubur para kurcaci tua yang telah meninggal dunia. Telah lama sekali kuburan kurcaci itu tidak disentuh. Kini semua kurcaci itu yakin bahwa sebentar lagi mereka akan menginjakkan kaki mereka di tanah tempat pengkuburan saudara-saudara mereka.

Demi mengingat semua itu salah seorang kurcaci pun menangis sejadi-jadinya. Ia tak dapat membendung isakan tangisnya sehingga para burung-burung yang sedang hinggap di dahan-dahan pohon pun menjadi terkejut. Para burung yang sedang bertengger enak di atas dahan tersebut tiba-tiba mengepakkan sayapnya dengan spontan. Para burung ini pun terbang dan naik ke dahan yang lebih tinggi lagi. Sebagian dari burung tersebut lebih suka untuk meninggalkan pulau itu dan terbang bebas menuju ke tempat yang jauh dan jauh sekali dari pulau itu.

Para kumpulan hewan pun rupanya merasakan duka yang dialami oleh para kurcaci. Para hewan pun seakan-akan turut berduka atas duka yang kini bersemayam di hati semua kurcaci.

“Jumlah kita mungkin akan jadi enam puluh sembilan, Bu,” kata seorang kurcaci kepada ibunya. Sang ibu kurcaci itu tak punya kata-kata yang bisa ia keluarkan. Ia hanya bisa memeluk anaknya. Ibu kurcaci itu memeluk anaknya dengan begitu sangat erat. 

1002 Kata

Komentar

Postingan Populer